Bertahannya Radio di Era Internet, Tahun 2016

 


Cara Radio Bertahan: Merambah ke Media Online hingga Jualan Obat Pendengar Suara Surabaya Bersatu... Cara Radio Bertahan: Merambah ke... Podcast Bukan Ancaman bagi... Radio dalam Perang Dunia II dan... Ilustrasi: radio bertahan digilas era digital. tirto.id/Lugas Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra - 1 Juli 2019 Dibaca Normal 4 menit Meski menolak mati, industri radio di Indonesia cukup babak belur untuk bisa bertahan. tirto.id - Jika sekarang usiamu di atas 25 tahun, kau mungkin pernah rela menyisakan uang jajan untuk membeli beberapa lembar kertas dari stasiun radio. Di kertas itu, kau tulis lagu kesukaanmu, lagu kesukaannya, atau lagu yang ingin kau dengar bersama teman-temanmu. Kau menulis dengan bersemangat kepada siapa lagu itu kau persembahkan. Kau tambahkan beberapa kalimat dan salam. Saat jamnya tiba, kau nyalakan radio. Kau tunggu penyiar membacakan pesan dan memutarkan lagu yang kau minta. Kau ikut tertawa jika si penyiar melucu atau membacakan pesan dan salam dari orang yang kau kenal. Kadang-kadang, kau iseng menelepon untuk meminta lagu yang kau suka diputar, atau sekadar menjawab pertanyaan kuis. Kalau menang, kau harus datang ke stasiun radio dan mengambil hadiahmu. Sukur-sukur kalau kau bisa bertemu penyiar kesayangan. Kemudian internet hadir. Kau mulai bisa mengakses lagu-lagu, mengunduhnya cuma-cuma, dan mendengarnya kapan kau suka. Hadir juga media sosial. Kau tak lagi butuh radio untuk kirim salam sebab mudah sekali menyapa teman atau gebetanmu lewat Friendster, lalu Facebook, lalu Twitter, lalu Instagram, lalu Snapchat, dan banyak lagi. Lewat media sosial itu pula kau bisa mendapatkan informasi terbaru, soal bencana, kemacetan, pencurian, dan informasi lainnya. Mulai dari yang dekat dengan kotamu hingga yang terjadi di belahan dunia lain. Pelan-pelan, kau mulai tak punya waktu untuk mendengarkan radio. Kini, kau bisa mendengarkan lagu apa pun lewat aplikasi macam Spotify, Soundcloud, iTune, atau mendengarkan dan menonton videonya langsung lewat YouTube. Baca juga: Mengenang Friendster dan Media Sosial Jadul yang Lain Bagaimana Twitter Memengaruhi Opini Publik dan Preferensi Politik? Jika ingin mendengar program-program tertentu, kau bisa mendengarkan podcast, kapanpun dan di manapun. Tak perlu khawatir ketinggalan jadwal program seperti ketika kau dulu mendengarkan radio. Kau juga bisa pilih tema apa yang ingin kau dengarkan. Radio yang semakin jarang kau dengarkan itu, ternyata, masih terus bertahan, meski jalannya kian berat. Sebab, banyak pendengarnya, termasuk kau, perlahan berpaling ke aplikasi-aplikasi lain itu. Radio Suara Surabaya, misalnya, yang menyajikan musik dan berita, sempat punya angka pendengar satu juta sebelum 2008. Kini, jumlahnya merosot ke angka 400-an ribu. Radio pernah jadi teknologi paling canggih di masanya. Namun, ketika teknologi berkembang, perhatian masyarakat mulai terbagi. Baca juga: SoundCloud di Ujung Tanduk Benarkah Youtube Membunuh Industri Musik? Tahun 1996, ketika televisi swasta mulai muncul, bisnis radio sedikit terguncang. Di Rembang, Radio R2B yang waktu itu baru berusia dua tahun ketar-ketir sebab para pengiklan mulai lari ke televisi. Untuk membuktikan bahwa iklan yang disiarkan R2B memberi dampak langsung kepada pengiklan, pihak manajemen radio bahkan mengerahkan para penyiar ke lapangan; ke pusat keramaian, membawa pengeras suara, mempromosikan radio sekaligus menjual produk milik pengiklan. Para penyiar itu juga pergi ke toko-toko, ke pasar-pasar, memperkenalkan produk dari pengiklan. Jika tidak begitu, mereka bisa kehilangan pemasukan. Meski tersendat-sendat, Onny Abi Wahono, salah satu pendiri R2B di Rembang, bisa membangun kerajaan radio. Kini, di bawah payung Thomson Radio Network, ia memiliki 60 radio di sejumlah kota yang tersebar tak hanya di Jawa tapi juga Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Dan sekarang, untuk bisa terus bertahan, Thomson membuat lini bisnis baru yang menjual produk-produk seperti obat-obatan dan jamu. “Daripada kami promosiin dan ngejualin produk orang lain, saya pikir kok ya mending kami jualan produk sendiri. Jadi, saya cari produknya, lalu radio sekaligus menjadi distributor, sekalian jualan,” ujar Onny. Baca juga: CD Lahir, Dirayakan, dan Perlahan Ditinggalkan Walkman, Pemutar Musik Legendaris yang Tergerus Zaman Maka, radio ini mempromosikan produk sendiri saat slot iklan kosong, lalu pendengar bisa datang dan membeli langsung. Sang penyiar merangkap sebagai pramuniaga. Jika sedang siaran dan ada orang yang datang ingin membeli obat atau jamu, maka prioritas utama adalah melayani pembeli. Ada sekitar 20-an produk yang didistribusikan Thomson. Mulai dari berbagai jenis jamu, minyak, dan obat-obatan. Pemilihan produk disesuaikan karakter pendengar. Sasaran pendengar Thomson adalah orang-orang tua yang suka mendengarkan lagu nostalgia. Onny belum begitu mengkhawatirkan generasi muda yang gandrung teknologi, sebab mereka bukan sasaran pendengar. Siaran Thomson juga sangat lokal. Di Bali, mereka punya banyak program berbahasa Bali. Di Jawa, mereka pakai bahasa Jawa; di Jawa Barat, mereka pakai Bahasa Sunda. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2015 dan 2016, jika dikelompokkan berdasarkan profesi, pendengar radio terbesar adalah kelompok pensiunan. Data ini sejalan target pendengar Thomson. A Flourish chart Membuat Portal Berita Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio, mengamini kesulitan yang dihadapi industri radio. Ceruk semakin sempit, kue iklan semakin sedikit. Secara bisnis, KBR hanyalah pembuat konten. Ia tak punya saluran radio di AM ataupun FM. Namun, ia punya sekitar 600 radio rekanan di seluruh penjuru Indonesia. Citra tak ingat persis tahunnya, tapi sekitar tahun 2000-an awal, KBR pernah menerapkan sistem berlangganan. Jadi, radio-radio di pelbagai daerah di Indonesia bisa mendapatkan konten berita dari KBR—seperti koran-koran dan media online berlangganan berita ke Antara. Tapi, mekanisme ini tak berjalan baik, tak sampai 10 tahun, sistem berlangganan tak bisa lagi dijalankan. Alasannya, radio-radio lokal kesulitan keuangan. Mereka tidak mampu bayar. “Dulu saingan [kue iklan] radio cuma koran. Lalu muncul TV, muncul lagi media online, kue iklan yang sudah kecil itu, semakin sedikit,” kata Citra. Sekarang, semua layanan berita itu diberikan gratis kepada radio rekanan. Kalau radio rekanan mendapatkan iklan saat menyiarkan konten KBR mengudara, hasilnya dibagi dua. Secara bisnis, KBR menjual program-program talkshow kepada pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang butuh target pendengar sampai ke pelosok. Baca juga: Media Cetak Bisa Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak Instagram Bukan Cuma buat Foto Narsismu, tapi Juga Bisnismu Menghadapi kehadiran media online, KBR juga akhirnya membuat portal berita. Citra bilang semula agak kesulitan meyakinkan investor untuk mewujudkan itu. Namun, ketika disetujui, mereka juga sempat kebingungan mengelolanya. “Wartawan radio, kan, biasa nulis pendek-pendek banget, untuk online tentu butuh gaya penulisan yang beda,” katanya. Sekarang, ada tiga medium yang dikelola KBR. Selain radio, ada online serta podcast. Citra sulit memprediksi akan seperti apa lanskap industi radio ke depan: Apakah kelak akan tergantikan oleh podcast atau tidak? Yang bisa dilakukan timnya hanyalah menebar jala sebanyak mungkin. Jika kelak radio memang benar bisa mati, setidaknya KBR sudah bersiap diri dengan kanal podcast-nya. Baca juga: Lagu Pop Masa Kini Makin Pendek karena Industri Streaming Sejarah YouTube Merevolusi Layanan Video di Internet Penetrasi Radio Masih Tinggi Pada 2016, Nielsen pernah merilis laporan berjudul Radio Masih Memiliki Tempat di Hati Pendengarnya. Nielsen Radio Audience Measurement mencatat meskipun internet tumbuh pesat pada kuartal ini, tidak berarti jangkauan pendengar radio menjadi rendah. Pada kuartal ketiga tahun 2016, penetrasi radio masih 38 persen, sedikit di bawah internet pada angka 40 persen. Angka penetrasi ini menunjukkan radio masih didengarkan oleh sekitar 20 juta publik Indonesia. Para pendengar menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari. Sampai akhir tahun 2016, penetrasi radio berada pada angka 37,6 persen. Angka penetrasi itu diperoleh Nielsen dari survei di 11 kota, yakni Bandung, Banjarmasin, Denpasar, Jakarta, Makassar, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Sepanjang 2016 hingga 2018, penetrasi radio turun perlahan dari 37,6 persen menjadi 34,3 persen pada 2018. Namun, data hasil survei Nielsen pada 2019 menunjukkan ada kenaikan menjadi 36,3 persen. A Flourish chart Diane Kemp, profesor pada bidang Broadcasting dari Birmingham City University, Inggris, memperkirakan radio tidak akan mati karena kemunculan podcast. Keduanya akan tumbuh bersama sebab karakteristiknya berbeda. “Podcast sudah ada beberapa tahun belakangan dan sangat popular di Generasi Z. Radio menawarkan momen bersama dan interaktivitas, hal yang tidak bisa didapat dari podcast. Podcast bisa berfungsi sebagai nilai tambah bagi radio alih-alih sebagai pengganti,” kata Diane kepada saya. Untuk bisa terus bertahan, lanjut Diane, radio harus bisa terus memastikan bahwa media berbasis suara ini masih relevan bagi pendengar nya. .



Dosen Pengampu : Vito Trianto,M.Kom.


Artikel dari :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Besar Gojek di Bidang Ekonomi dan Pariwisata

Peran Besar Aplikasi Halodoc di Bidang Kesehatan

Etika Dalam Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi